Bogor, Swarajabar.id —
Perseteruan antara LSM Barak Indonesia Marcab Kabupaten Bogor dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kabupaten Bogor memasuki babak baru. Alih-alih membangun sinergi dalam penindakan terhadap praktik dokter dan klinik yang diduga bermasalah, pertemuan pertama pihak pada Senin, 5 Mei 2025 justru berujung kekecewaan dari pihak Barak Indonesia.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Ketua Barak Indonesia Marcab Kabupaten Bogor, Zulfa Rahmania, menyebut pihaknya merasa dijebak oleh IDI Kabupaten Bogor. Menurutnya, surat kesepakatan yang ditandatangani bersama di kantor IDI tidak memuat poin-poin yang bersifat mengikat, namun kemudian beredar versi berbeda di grup internal para dokter dan klinik, yang mencantumkan sejumlah poin tambahan tanpa sepengetahuan pihaknya.
“Kami merasa dijebak. Pada pertemuan itu kami diajak untuk bermitra mengawasi praktik dokter dan klinik yang bermasalah, serta berkolaborasi melaporkan ke dinas terkait. Tapi kemudian kami melihat di grup para dokter, surat kesepahaman itu telah dibumbui dengan poin-poin yang tidak pernah dibicarakan dan tidak kami setujui. Ini jelas manipulatif dan melanggar etika,” tegas Zulfa, Selasa (6/5/2025).
Zulfa menyebut tindakan IDI tersebut sebagai pelanggaran hukum perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian. Salah satu syarat tersebut adalah “kesepakatan para pihak”, yang menurut Zulfa telah dilanggar karena terdapat poin-poin yang ditambahkan secara sepihak.
“Karena tidak memenuhi unsur kesepakatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, maka surat yang dibuat dan ditandatangani kemarin kami nyatakan batal demi hukum. Selanjutnya, kami akan terus melaporkan temuan masyarakat terkait praktik medis ilegal kepada pemerintah dan aparat penegak hukum,” lanjutnya.
Selain itu, Zulfa juga menegaskan bahwa tindakan IDI Kabupaten Bogor bertentangan dengan regulasi resmi dari pemerintah pusat. Ia merujuk pada Permenkes RI Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik, yang menyebutkan bahwa pengawasan terhadap klinik menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan, namun masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dapat berperan aktif dalam pengawasan mutu dan kepatuhan pelayanan.
“Dalam Pasal 41 Permenkes 9/2014 disebutkan bahwa pengawasan dilakukan secara berjenjang dan melibatkan masyarakat. Artinya, IDI seharusnya menyambut baik kolaborasi, bukan malah mengelabui dengan dokumen yang tidak transparan,” katanya.
Lebih jauh, Barak Indonesia menilai tindakan Ketua IDI Kabupaten Bogor, dr. Agus Arianto, SH, MH, CMED, ADV, sebagai tidak profesional dan merusak citra dunia kedokteran.
“Perilaku seperti ini mencederai marwah profesi dokter. Kami akan membawa persoalan ini ke DPRD dan, bila perlu, hingga ke Kementerian Kesehatan untuk ditindaklanjuti secara institusional,” tandas Zulfa.
Zulfa juga menegaskan kembali, jika pertemuan tersebut terjadi atas dasar undangan IDI kepada LSM BARAK dan itu merupakan bukti itikad baik LSM BARAK dalam menempuh jalur mediasi untuk mendapatkan klarifikasi dari pihak terkait.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, pihak IDI Kabupaten Bogor belum memberikan klarifikasi resmi atas tudingan tersebut.