Karawang — Proyek perbaikan drainase di Jalan A.R. Hakim, Kawasan Niaga Karawang, dikecam keras oleh warga sekitar. Bukan karena proyeknya tidak penting, melainkan karena pelaksanaannya yang terkesan asal-asalan, tidak profesional, dan mengabaikan keselamatan masyarakat. Yang lebih mengejutkan, Bupati Karawang H. Aep Syaepuloh, S.E., memilih bungkam saat dimintai tanggapan atas keluhan warganya sendiri.

Aki, warga sekitar yang sehari-hari melintasi lokasi proyek, mengaku kecewa berat. “Bukannya menyelesaikan masalah, proyek ini justru menciptakan kekacauan baru. Debu beterbangan, lalu lintas terganggu, pekerja tanpa alat keselamatan, dan material berserakan begitu saja,” ujarnya.
Bahkan, menurutnya, kondisi ini sudah mengarah pada potensi bahaya kecelakaan bagi pengguna jalan. Belum lagi keluhan pelaku usaha di sepanjang jalur proyek yang merasa akses dan kenyamanan pelanggan terganggu akibat tidak adanya pengaturan lalu lintas selama pengerjaan berlangsung.
Bupati Bungkam, Masyarakat Bertanya: Ada Apa?
Kemarahan warga kian membara ketika mengetahui bahwa Bupati Karawang tidak memberi respon sama sekali saat dikonfirmasi via akun WhatsApp-nya. Tak ayal, banyak pihak mulai mempertanyakan:
Mengapa kepala daerah justru diam saat warganya menjerit? Apakah ini bentuk pembiaran? Atau ada hubungan tersembunyi dengan pihak kontraktor pelaksana proyek?
Publik mencium aroma tak sedap. Kecurigaan pun mencuat:
Apakah ini bagian dari permainan proyek? Adakah aliran kepentingan di balik proyek drainase yang penuh kejanggalan ini?
Dasar Hukum dan Ancaman Pidana
Jika terbukti adanya kelalaian dalam pelaksanaan proyek atau pembiaran dari pejabat publik, maka bisa dikenakan beberapa ketentuan hukum sebagai berikut:
1. UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
Pasal 59 ayat (1) dan (2) mewajibkan setiap penyedia jasa konstruksi mematuhi standar keselamatan dan keamanan kerja. Jika dilanggar, dapat dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha.
2. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 67 menyatakan bahwa kepala daerah wajib melaksanakan urusan pemerintahan secara akuntabel dan responsif terhadap masyarakat. Kegagalan dalam menjalankan fungsi pengawasan bisa dianggap kelalaian jabatan.
3. UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Jika ditemukan indikasi kongkalikong antara pejabat daerah dan kontraktor, maka dapat dijerat Pasal 3 atau Pasal 12 huruf e, dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda hingga Rp 1 miliar.
Dampak Sosial Paling Parah
Dampak sosial dari proyek semacam ini tidak bisa dianggap sepele. Jika dibiarkan, hal ini berpotensi menimbulkan banyak kerugian
Akibatnya berpotensi kecelakaan lalu lintas akibat minimnya pengamanan proyek
Turunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah
Kerugian ekonomi warga dan pelaku usaha lokal
Potensi protes dan konflik horizontal antarwarga dan pelaksana proyek
Citra buruk Karawang sebagai daerah yang tak peduli keselamatan publik
Dan yang paling berbahaya adalah: Masyarakat bisa menjadi apatis, kehilangan kepercayaan pada pemerintah daerah, dan menjadikan kelalaian ini sebagai preseden buruk untuk proyek-proyek lainnya di masa depan.
—
Tuntutan Transparansi
Proyek drainase ini tidak bisa dibiarkan berjalan tanpa pengawasan ketat. Jika benar ada unsur pembiaran atau permainan, penegak hukum, DPRD, dan lembaga pengawasan seperti BPK dan Inspektorat wajib turun tangan.
Publik berhak tahu: siapa pelaksana proyeknya? Berapa nilainya? Mengapa tidak ada pengamanan standar? Dan mengapa kepala daerah seolah lebih memilih diam daripada menjawab?
—
Jika proyek seperti ini terus terjadi tanpa konsekuensi, maka Karawang sedang berjalan mundur, bukan maju. Dan rakyatlah yang akan terus menanggung akibatnya.
